Kamis, 05 Februari 2015


PELURUSAN SEJARAH RAJA AMPAT
(Papua Gamsio dan Kolano Ngaruha atau Kolano Fat) 
Oleh AMOS MAMBRASAR & MARTHEN FAKDAWER

Sejarah Raja Ampat : Papua Gamsio dan Kolano Ngaruha atau Kolano Fat. Untuk menyatukan persepsi kita tentang apa yang dimaksud dengan tulisan ini, perlu diberikan penjelasan secara umum tentang beberapa hal sebagai berikut :
1. Sejarah, berasal dari kata Sajarah, yang berarti pohon atau silsilah. Dalam pengertian moderen, Sejarah merupakan ceritera tentang asal-usul suatu bangsa, negara, kelompak masyarakat, ataupun seorang tokoh yang berpengaruh. Berbeda dengan ceritera rakyat, Sejarah selalu berceritera tentang suatu peristiwa yang berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak. Ceritera Sejarah harus didasarkan atas fakta-fakta Sejarah yang obyektif, bisa berdasarkan ceritera-ceritera rakyat atau ceritera yang disampaikan oleh leluhur baik secara lisan maupun tulisan, ataupun berdasarkan benda-benda peninggalan sejarah berupa artefak, prasasti, benda-benda purbakala, ataupun bangunan-bangunan kuno pada peradaban masa lampau. 
2. Raja Ampat, dalam pengertian saat ini berarti orang Raja Ampat, juga berarti nama daerah, yaitu kepulauan Raja Ampat yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Papua Barat. Penduduk kepulauan Raja Ampat merupakan campuran dari beberapa suku yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Papua, Maluku, Sulawesi dan Jawa. Mereka ini bermigrasi ke daerah kepulauan Raja Ampat dan sekarang telah membentuk suatu kelompok masyarakat baru yang disebut Orang Raja Ampat. Istilah Raja Ampat dalam pengertian tersebut di atas sebenarnya secara konotatif telah mengalami perubahan dari pengertian aslinya. Istilah Raja Ampat, sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat yang mulanya digunakan untuk menyebut keempat anak Kurawesi yang juga merupakan cucu dari sultan Jamal ud-din, sultan pertama yang memerintah di Tidore pada tahun 1495 – 1512.

3. Papua Gamsio, merupakan nama daerah yang digunakan untuk menyebut wilayah kepulauan Raja Ampat pada masa kekuasaan Sultan Tidore. Wilayah Papua Gamsio pada masa lampau meliputi sebagian daerah kepulauan Raja Ampat yang sekarang, yaitu kepulauan Ayau, Waigeo utara, Waigeo selatan, kepulauan Pam, pulau Kofiau, pulau Batanta, kepulauan Wejim, sampai ke daerah daratan kepala burung pulau Irian (Papua daratan), mulai dari Sausapor di pantai utara sampai ke Wanurian dan Teminabuan di pantai selatan daerah kepala burung pulau Irian. Wilayah Papua Gamsio disebut juga dengan nama Sembilan Daerah Omka atau Negeri Sembilan pada masa kesultanan Tidore.
4. Kolano Ngaruha, sama artinya dengan istilah Kolano Fat atau Korano Fyak (dalam bahasa Biak) atau Raja Ampat (dalam bahasa Indonesia). Istilah tersebut digunakan pada masa kekuasaan sultan Tidore di masa lampau untuk menyebut sebagian daerah yang terletak diwilayah kepulauan Raja Ampat yang sekarang, meliputi daerah teluk Wawiyai di pulau Waigeo, pulau Salawati dan pulau Misol. Istilah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat juga digunakan untuk menyebut kelompok hulu-balang yang mengantar Kapitan Kurawesi dan istrinya Boki Thoibha (Boki Tabai) beserta keempat orang anaknya kembali dari Tidore (Maluku Utara) ke pulau Waigeo di tanah Papua. Kelompok ini disebut kelompok Kolano Fat (baca : Klana-fat), yang berangkat dari Tidore bersama Kurawesi dan keluarganya menuju Waigeo sekitar awal abad ke XVI. 
Dalam penjelasan di atas terdapat dua istilah yang mempunyai pengertian yang sama, yaitu istilah Raja Ampat dan istilah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat. Dengan demikian, untuk lebih mempermudah pengertian kita, dalam tulisan ini penulis akan menggunakan istilah Raja Ampat untuk menyebut orang Raja Ampat, ataupun nama daerah, yaitu kepulauan Raja Ampat yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Raja Ampat di Propinsi Papua Barat. Sedangkan istilah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat akan digunakan untuk 

menyebut keempat orang anak dari Kapitan Kurawesi beserta Kelompok hulu-balang yang mengantar keluarga Kapitan Kurawesi kembali dari Tidore ke pulau Waigeo, yaitu kelompok Kolano Ngaruha atau kelompok Kolano Fat. Istilah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat juga digunakan untuk menyebut nama daerah pada masa kekuasaan Sultan Tidore, yaitu daerah Kolano Ngaruha atau daerah Empat Kolano yang meliputi daerah teluk Wawiyai, pulau Salawati dan pulau Misol. 
Perlu diketahui bahwa pada masa kekuasaan kesultanan Tidore, daerah Raja Ampat yang sekarang dibagi dalam dua wilayah, yaitu wilayah Papua Gamsio yang terdiri dari Sembilan Daerah Omka, dan wilayah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat, yang terdiri dari daerah Empat Kolano (Empat Raja). Menurut (almarhum) Sultan Zainal Abidin Syah “Alting”, Sultan Tidore yang ke 35, yang dinobatkan di Tidore pada tanggal 27 Februari 1947, bahwa Kesultanan Tidore pada masa lampau terdiri dari dua bagian atau dua Nyili, yaitu : (1) Nyili Maluku atau Nyili Gama dan (2) Nyili Papua atau Nyili Gulu-Gulu. Nyili Papua terdiri dari tiga wilayah, yaitu : (a) Wilayah Kolano Ngaruha atau Kolano Fat ; (b) Wilayah Papua Gamsio yang meliputi Sembilan Daerah Omka; dan (c) Wilayah Mafor Soa Raha.
Wilayah Kolano Ngaruha dan wilayah Papua Gamsio (Sembilan Daerah Omka), keduanya meliputi wilayah kepulauan Raja Ampat yang sekarang sampai ke daerah pesisir kepala burung tanah Papua, mulai dari Sausapor di utara sampai ke Wanurian danTeminabuan di pantai selatan daerah kepala burung pulau Irian. Sedangkan wilayah Mafor Soa Raha atau wilayah Empat Keret Numfor meliputi daerah Teluk Cenderawasih yang sekarang, mulai dari Yapen - Waropen, Biak – Numfor, Teluk Wondama sampai ke Teluk Doreri di Manokwari. Keempat Keret Numfor yang dimaksud adalah Anggradifu, Rumansra, Rumberpon dan Rumberpur atau Waropen.
Dengan demikian, jika kita hendak berbicara tentang SEJARAH RAJA AMPAT, berarti kita akan berbicara tentang sejarah PAPUA GAMSIO (Sembilan Daerah 

Omka) dan sejarah KOLANO NGARUHA atau KOLANO FAT. Perlu diketahui pula bahwa selama ini penulis-penulis seperti De Clerk (1893), Kamma (1949), Polansky (1957), Van der Leeden (1980), maupun Albert Remijsen (2001), yang telah menulis tentang sejarah, etnografi, dan bahasa-bahasa di daerah Raja Ampat, umumnya hanya menulis tentang Kolano Ngaruha atau Kolano Fat, tapi tidak pernah manulis tentang Papua Gamsio. Hal ini menyebabkan sejarah tentang Papua Gamsio agak terlupakan bahkan hampir tidak dikenal. Melupakan Papua Gamsio, berarti melupakan sejarah orang Papua yang telah berabad-abad menempati daerah kepulauan Raja Ampat ini sebalum kedatangan para migran dari Maluku Utara maupun dari daerah lain diluar tanah Papua.
Penulisan-penulisan yang berat sebelah dari penulis-penulis tersebut di atas menimbulkan suatu penafsiran yang salah kaprah serta menciptakan suatu image yang keliru dan menjerumuskan kita semua yang menganggap bahwa orang Raja Ampat asli adalah orang Ma’ya atau Makia (baca : Makian). Pada hal kenyataannya tidak demikian, karena mereka ini aslinya merupakan orang-orang dari kelompok Kolano Fat yang datang ke tanah Papua bersama Kapitan Kurawesi dan keluarganya dari Tidore. Mereka ini datang dan tinggal dengan leluhur Kapitan Kurawesi (dari suku Omka) di kampung Wawiyai sebelum menyebar ke Teluk Manyailibit (orang Laganyan), Salawati dan Misol mengikuti perpindahan anak-anak Kapitan Kurawesi. Dengan demikian, perlu diluruskan bahwa penduduk asli kepulauan Raja Ampat ini adalah orang Omka di pulau Waigeo, orang Bata di pulau Batanta, orang Tepin-Fiawat di pulau Salawati dan orang Matbat di pulau Misol. 
Berikut yang lebih fatal lagi adalah nama “Kepulauan Raja Ampat “ itu sendiri, nama ini mengundang masalah karena nama tersebut memperkuat image bahwa pemilik dari kepulauan yang terletak di ujung barat tanah Papua ini adalah orang-orang Kolano Ngaruha/Kolano Fat, karena mereka inilah yang pertama kali menggunakan istilah “Raja Ampat” sehingga apabila kepulauan ini disebut “Kepulauan Raja Ampat” maka anak cucu mereka yang lahir dan 

besar di kepulauan ini sekarang menganggap bahwa ini adalah tanah leluhurnya. Keadaan inilah yang sekarang terjadi, dan masalah ini harus segera diluruskan. 
Sudah waktunya untuk kita meluruskan Sejarah Raja Ampat, yaitu bahwa Sejarah Raja Ampat perlu dilihat dan diceriterakan kembali dari sudut pandang orang Papua yang mendiami Kepulauan Raja Ampat ini sejak dahulu kala (sejak 3000 tahun Sebelum Masehi), sebelum kedatangan para migrant dari luar. Selama ini sejarah Raja Ampat selalu ditulis atau diceriterakan dari sudut pandang dan kepentingan kesultanan-kesultanan di Maluku, yaitu kesultanan Tidore, KesultananTernate, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan. Hal ini menyebabkan orang Maluku (khususnya yang berasal dari daerah Halmahera Selatan) yang ada di Raja Ampat, lebih berperan dalam sejarah Raja Ampat dibanding orang Papua di Raja Ampat. Ini merupakan satu kekeliruan besar yang terjadi selama ini tanpa disadari oleh kita semua. 
Jika kita hendak menulis tentang sejarah Raja Ampat, maka tulisan tersebut haruslah membahas secara obyektif dan berimbang tentang sejarah Kolano Ngaruha/Kolano Fat dan sejarah Papua Gamsio (Sembilan Daerah Omka). Kita tidak bisa membahas salah satu saja dan mengesampingkan yang lain seperti yang dilakukan oleh penulis-penulis Belanda tersebut di atas, karena mereka hanya mendapatkan informasi dari salah satu pihak saja dan tidak dari kedua belah pihak, baik dari Kolano Ngaruha/Kolano Fat maupun dari Papua Gamsio. Melalui tulisan ini penulis berusaha seobyektif mungkin untuk memaparkan secara jelas dan berimbang tentang Sejarah Raja Ampat yang meliputi wilayah Papua Gamsio dan Kolano Ngaruha, dengan harapan agar kita semua dapat memahami dan mengerti sifat kemajemukan kita sebagai “Orang Raja Ampat”. 
Dimasa lalu sebutan “Orang Raja Ampat” ditujukan kepada para pengikut atau hulubalang yang mengantar Kurawesi beserta istri dan keempat orang anaknya yang berangkat dari Tidore menuju pulau Waigeo di tanah Papua. Exodus ini berlangsung pada sekitar awal abad ke XVI pada masa pemerintahan Sultan Syech Mansur (sultan ke-2 di Tidore) pengganti sultan Jamaludin di Tidore. 

Para pengantar ini sampai sekarang masih bertempat tinggal di Papua yaitu di pulau Waigeo, Salawati dan pulau Misol di kabupaten Raja Ampat. Mereka tetap menggunakan bahasa asal daerahnya yang berasal dari daerah Halmahera Selatan, yaitu bahasa Ma’ya atau Makia (baca Makian) yang berasal dari enam bahasa Makian Dalam, yaitu bahasa Buli, Maba, Patani, Sawai, Gani dan Taba. Sebagian besar dari mereka tetap memeluk agama Islam yang dibawanya dari daerah asal yaitu dari Tidore, sedangkan sebagian kecil memeluk agama Kristen. 
Pada masa sekarang pengertian istilah “Orang Raja Ampat” sudah mengalami perubahan. Istilah tersebut digunakan untuk menyebut orang-orang yang tinggal di daerah yang juga disebut daerah Kepulauan Raja Ampat yang sekarang menjadi Kabupaten Raja Ampat, mulai dari kepulauan Ayau di utara sampai ke pulau Misol di selatan. Mereka ini terdiri dari berbagai macam suku seperti suku Biak, Omka, Bata, Waropen, Moi, Tepin, Matbat, Jawa, Buton, termasuk kelompok Kolano Fat atau Kelompok Raja Ampat yang datang dari Tidore, seperti tersebut di atas. Sudah bukan waktunya lagi istilah “Raja Ampat” menjadi milik satu kelompok tertentu atau milik orang Kolano Fat atau Klanafat, karena istilah ini sudah menjadi milik kita bersama yang sekarang menyebut identitas kita sebagai “Orang Raja Ampat”. Orang Kolano Ngaruha atau Kolano Fat di Raja Ampat harus ikhlas memberikan istilah tersebut, sebaliknya orang Beser /Betew, Wardo dan Usba, yang mewakili orang Papua di Raja Ampat harus ikhlas pula menerima istilah “Raja Ampat” ini menjadi milik bersama seperti yang sudah kita lakukan selama ini sehingga melahirkan Kabupaten yang disebut “Kabupaten Raja Ampat” yang sekarang. 
Sudah bukan waktunya lagi kita saling mengklaim tentang siapa “Orang Raja Ampat” yang sebenarnya. Kita tidak perlu lagi saling memojokkan dengan kata-kata seperti “saya yang asli Raja Ampat, kamu bukan asli Raja Ampat”. Kata-kata seperti ini sangat tidak etis diucapkan dilingkungan masyarakat kita di daerah Raja Ampat ini yang terdiri dari beraneka ragam suku, bahasa dan budaya. 

Tujuan utama penulisan ini adalah untuk membuka mata hati kita agar dapat memahami siapa diri kita sebenarnya. Melalui pemahaman tersebut diharapkan dapat tercipta suasana yang damai, saling menghargai, saling menghormati satu sama lain yang bermuara kepada terbentuknya persatuan dan kesatuan orang Raja Ampat yang lebih erat lagi seperti yang telah ditanamkan oleh leluhur kita melalui kelompok “BEOSER atau BESER atau BETEW (dalam lafal bahasa Omka)”, yang artinya “BERSATU”. Kelompok Beser yang sekarang ini terdiri dari berbagai macam suku yang ada di Raja Ampat, antara lain suku Omka, Biak, Waropen, Moi, Bata, Tepin, Matbat, termasuk pula suku-suku dari daerah Halmahera Selatan yang berbahasa Ma’ya atau Makian dan diharapkan terus berkembang mencakup suku-suku lain yang berdiam di Kepulauan Raja Ampat ini, seperti Buton, Jawa, serta masih banyak lagi suku-suku yang lain.
Publikasi. Otis Mambrasar, S. Hut

1 komentar: